Sahabat, pembaca buletin Hidayah yang dirahmati oleh Allah SWT. Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh...
Sahabat, pembaca buletin Hidayah yang dirahmati oleh Allah SWT. Tidak
terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang penuh dengan
keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk orang-orang
yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah SWT selama
bulan Ramadhan, sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh
malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan
kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah
Ta’ala )” (HR Ahmad &Bukhari).
Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni
dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di
bulan-bulan lainnya” (Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif”).
Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT agar
Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan
segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya
bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah SWT mempertemukan
kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan
keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata:
“Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah SWT (selama) enam bulan
agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa
kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal
shalih) yang mereka (kerjakan)” (Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif”).
Lalu muncul satu pertanyaan besar dengan sendirinya: Apa yang tertinggal
dalam diri kita setelah Ramadhan berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang
terlihat pada diri kita setelah keluar dari madrasah bulan
puasa?
Apakah bekas-bekas itu hilang seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah
amal-amal kebaikan yang terbiasa kita kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa
berakhir?
Jawabannya ada pada kisah berikut ini:
Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang yang
(hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau
menjawab: “Mereka adalah orang-orang
yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di
bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh adalah orang yang rajin dan
sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh” (Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful
ma’aarif”).
Demi Allah, inilah hamba Allah SWT yang sejati, yang selalu
menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya di waktu dan tempat
tertentu.
Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama, bulan Rajab atau
bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani
(hamba Allah Ta’ala yang selalu beribadah kepada-Nya di
setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu menjadi seorang Sya’bani
(orang yang hanya beribadah kepada-Nya di bulan Sya’ban atau bulan tertentu
lainnya)” (Ibid).
Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah SWT di
bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan
rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam
firman-Nya:
“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah
Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda
diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya
Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi
taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana
ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah
(taufik dari Allah SWT untuk melakukan) perbuatan baik
setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia
mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda
diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah SWT), sebagaimana
barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan
buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya
amal kebaikan tersebut” (Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif”).
Oleh karena itulah, Allah SWT mensyariatkan puasa enam hari
di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan
dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun penuh,
sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa
yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa
sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti
puasa setahun penuh” (HR Muslim).
Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang
shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa
gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua
kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika
dia bertemu Allah” (HR. Bukhari & Muslim).
Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal
(ibadah) yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah amal yang
paling terus-menerus dikerjakan meskipun sedikit” (HR. Bukhari &
Muslim).
Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan suatu
amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan
menetapinya” (HR. Muslim).
Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda
diterimanya amal-amal kebaikan kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan
menilai diri kita sendiri, apakah kita termasuk orang-orang yang beruntung dan
diterima amal kebaikannya atau malah sebaliknya.
“Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang
mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).
Sarana untuk melaggengkan amal shaleh pasca Ramadhan:1. Segala sesuatu membutuhkan pertolongan Allah SWT berupa hidayah dan keteguhan.
Allah SWT memberikan pujian doa para ulama yang dalam ilmunya:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” ( Ali ‘Imran :8)
2. Banyak bermajelis dengan orang-orang shalih dan gemar ke majelis dzikir umum seperti pengajian atau yang khusus seperti berkunjung ke ulama.
3. Mengenal kisah orang-orang shaleh dari membaca kitab atau mendengarkan kaset, lebih khusus lagi memperhatikan perjalanan hidup para sahabat-sahabat Nabi SAW karena bisa membangkitkan semangat dan tekad.
4. Sering mendengarkan kaset islami yang menggugah seperti kaset ceramah dan nasihat.
5. Menjaga amal-amal fardhu seperti shalat lima waktu dan qadha’ Ramadlan, karena dalam amal fardhu terdapat kebaikan besar.
6. Memperbanyak amal-amalan sunnah yang disukai diri walau sedikit, karena amal yang paling dicintai Allah SWT adalah yang kontinyu, walaupun sedikit. (sebagaimana sabda Nabi SAW).
7. Mulai menghafal al-Qur’an dan merutinkan tilawah, serta membaca surat-surat yang sudah dihafal dalam shalat fardhu dan sunnah.
8. Banyak berdzikir kepada Allah SWT dan istighfar, karena amal tersebut sangat ringan namun manfaatnya besar, menambah keimanan dan memperkuat ketakwaan.
9. Menjauhi sarana-sarana perusak hati sejauh-jauhnya, di antaranya teman-teman yang nakal, mendengarkan music dan lagu di tempat dimana mudah sekali mendatangkan maksiat, serta melihat majalah-majalah porno.
10. Terakhir, segera bertaubat, yaitu taubat nasuha dengan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan biidznillah, karena Allah SWT amat bangga dengan hamba yang bertaubat.
Jangan sampai kita seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah SWT, kecuali pada Ramadhan saja. Semoga kita bertemu lagi dengan Ramadhan yang akan datang dalam kondisi sehat wal ‘afiat dan selalu istiqamah di atas agama Allah SWT, Insya Allah.