Pembaca buletin Hidayah, salah satu nama Ramadhan adalah Syahrul Maghfiroh , bulan ampunan. Disebut demikian sebab di dalamnya tersaji be...
Pembaca
buletin Hidayah, salah satu nama Ramadhan adalah Syahrul Maghfiroh,
bulan ampunan. Disebut demikian sebab di dalamnya tersaji beragam amal yang
melahirkan ampunan atas dosa-dosa kita. Dengan melakukan amal-amal sesuai yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, Allah berkenan memberikan ampunan atas
dosa yang pernah kita lakukan.
Hanya saja,
tidak semua orang yang melawati Ramadhan berhasil menjadikan kesempatan emas
ini sebagai ajang menggugurkan dosa. Yang terjadi sebaliknya, ia keluar dari
ramadhan tanpa mendapat ampunan dari Allah. Orang seperti inilah yang
mendapatkan doa Jibril dan diamini oleh rasul.
Ibnu
Khuzaimah meriwayatkan suatu hari nabi naik ke atas mimbar untuk berkhutbah.
Setiap kali beliau menapaki anak tangga mimbarnya beliau berkata Amiin. Kalimat
ini beliau baca sebanyak tiga kali. Selepas khutbah, nabi ditanya ihwal
ucapannya itu. Kata nabi, baru saja Jibril datang kepada beliau dan berkata
dengan tiga doa, “Allah melaknat orang yang melewati ramadhan namun ia gagal
mendapatkan ampunan. Allah melaknat seorang anak yang mendapati kedua orang
tuanya atau salah satunya yang masih hidup, namun tidak membuatnya masuk surga
(karena tidak berbakti kepada mereka). Allah melaknat orang yang namamu
disebutkan di hadapannya namun ia tidak bershalawat kepadamu.”
Ketiga doa
Jibril di atas, diamini semuanya oleh Rasulullah SAW. Dalam konteks ibadah ramadhan, menarik untuk kita telisik
lebih dalam apa yang menyebabkan seseorang gagal meraih ampunan di bulan
Ramadhan padahal ia adalah bulan ampunan? Ada beragam faktor. Yang paling
dominan adalah
Pertama, puasa tanpa dasar ikhlas.
Ikhlas
adalah perbuatan yang dilakukan untuk mengharap ridha Allah. Ikhlas lawannya
riya. Riya artinya perbuatan yang dilakukan karena selain Allah. Ikhlas berarti
kemurnian, kejernihan, kebersihan. Beramal ikhlas adalah melaksanakan amal yang
bersih, murni, jernih dari segala tendensi selain Allah.
Orang yang
beramal ikhlas adalah orang yang membersihkan, menjernihkan, dan memurnikan
segala bentuk sesembahan kepada selain Allah. Orang-orang yang ikhlas akan
berusaha menjaga kesucian niat dan tujuan di setiap perbuatannya. Orang yang
ikhlas mengalamatkan ibadahnya kepada Allah SWT bukan kepada selain-Nya.
Jika kita berpuasa
untuk diet, untuk mencari kesembuhan, atau puasa karena merasa tidak enak
dengan orang sekitar yang banyak berpuasa di waktu itu, artinya kita puasa
bukan Lillaahi ta`ala tapi “Li” diet (untuk diet), “Li”
kesehatan, “Li” ewuh pakewuh dengan orang lain. Tentu saja, hal
ini tidak dibenarkan dan bisa melenyapkan harapan kita meraih ampunan Allah di
bulan Ramadhan.
Kedua, puasa tanpa dasar ilmu
Ilmu adalah
sinar yang menerangi langkah perbuatan kita. Setiap perbuatan dan perkataan
harus memiliki landasan ilmu. Dengan ilmu yang kita pelajari kita bisa
mengetahui mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Tanpa ilmu,
amal yang kita yakini sudah benar, bisa jadi salah dengan kesalahan yang fatal.
Kita menduga bahwa kita telah banyak melakukan kesalehan. Nyatanya, yang kita
lakukan adalah kesalahan bukan kesalehan.
Dengan
kemajuan sarana dan prasarana seperti saat ini tidak ada alasan yang dapat
dimaklumi kala seseoang mengatakan, “Aku tidak tahu kalau ini dan itu boleh dan
tidak boleh.” Ilmu Allah sudah tersiar luas, majelis ilmu berkecambah di
berbagai pelosok, madrasah, pesantren bahkan buku-buku keagamaan tersebar luas
di jagad raya. Tinggal sekarang kemauan kuat kita untuk mau atau tidak mencari
ilmu.
Kalau tubuh
kita bisa merasa lapar, sakit bahkan mati karena lama tidak makan dan minum,
maka yang mati dari diri kita jika kita enggan mencari ilmu adalah hati. Hati
kita lambat laun akan gersang, kering kerontang, karena sudah lama tidak diberi
‘makanan’ hati berupa ilmu. Oleh karenanya, seorang muslim yang akan memasuki
ramadhan tidak lama lagi ini, harus memperkaya diri dengan ilmu. Ilmu tentang
hal-hal seputar ibadah puasa di bulan ramadhan : rukun, syarat sah, syarat
wajib, makruh, sunnah, dan pembatal-pembatal puasa. Dengan dasar ilmu kita meraup
ampunan Allah sebanyak-banyaknya.
Ketiga, puasa lahir minus puasa batin
Belumlah
sempurna puasa seseorang yang sekadar menahan diri dari makan, minum, dan
hubungan badan jika ia biarkan anggota tubuhnya tetap melakukan hal-hal yang
bernilai maksiat. Jika benar ia puasa, maka lahir dan batin harus ia puasakan.
Ia berpuasa dari makan dan minum sekaligus puasa dari memandang, mendengar,
berbicara tentang hal-hal yang tidak ada manfaatnya, seperti menyaksikan
televisi yang berisi program-program tidak mendidik, mendengar gosip, atau
mengeluarkan ucapan-ucapan tidak pantas.
Keempat, puasa dengan bermalas-malasan
Dengan dalih
tengah berpuasa, ia tidak menyemangati diri untuk meraup berkah yang tertabur
di dalam ramadhan. Bulan ramadhan sebagi bulan yang penuh berkah seharusnya
membuat kita lebih termotivasi dalam mengais karunia rahmat, ampunan, dan
janji-janji Allah yang lain. Sayangnya, ketika seseorang bermalasan-malasan
dalam mengerjakan puasa, yang ia dapatkan hanyalah kepayahan dan kelesuan. Ia
hanya mendapati dirinya berada dalam keadaan lapar dan haus. Namun tidak
mendapati dirinya dalam ruang amal baik seperti tilawah Al-Quran, tarawih,
bersedekah atau memberi makan orang yang berbuka puasa.
Akibatnya,
ia memandang puasa tak lebih sebagai ajang perpindahan waktu makan, atau ia
jadikan waktu buka puasa sebagai ajang balas dendam untuk memakan apa saja yang
dikehendaki. Karenanya, tidak heran jika puasa yang ia lakukan tidak memberi
pengaruh lebih dalam kehidupannya di masa berikutnya.
Inilah empat
faktor yang mengakibatkan seseorang yang melewati Ramadhan tapi gagal meraih
ampunan. Orang yang seperti inilah yang mendapat doa Jibril berisi laknat Allah
SWT, diamini pula oleh Rasul SAW. Kita patut waspada, jangan
sampai kita menjadi golongan yang diberi kesempatan memasuki ramadhan tapi kita
gagal meraih ampunan Allah yang sangat luas itu.
Gagal
merencanakan niat yang baik, ilmu yang memadai, kesungguhan, dan keuletan sama
halnya kita telah merencanakan kegagalan bagi diri kita sendiri. Rugi di dunia
rugi pula di akhirat.
Semoga kita
terhindar dari golongan yang demikian. Semoga kita termasuk golongan yang
melewati ramadhan dengan kualitas dan kuantitas ibadah yang baik. “Allaahumma
innaka `afuwwun kariimun tuhibbul `afwa fa`fu `annaa (Ya Allah, sungguh
Engkau Maha Memaafkan dan Engkau Maha Dermawan, suka memaafkan, maka maafkan
kami).”(Hid)