Pembaca Bulletin yang berbahagia, kehidupan senantiasa diwarnai dengan cobaan. Orang yang memandang dengan mata hati yang jernih dan bi...
Pembaca Bulletin yang
berbahagia, kehidupan senantiasa diwarnai dengan cobaan. Orang yang memandang
dengan mata hati yang jernih dan bimbingan cahaya al-Qur’an akan bisa
menyaksikan betapa hebat ujian dan cobaan yang datang dan pergi silih berganti.
Fitnah datang bertubi-tubi. Sehingga hal itu membuat sebagian orang terhempas
oleh ombak fitnah yang dia alami. Namun, di sisi lain ada pula orang yang tetap
tegar menghadapi terpaan gelombang fitnah ini dengan taufik dari Allah ta’ala
kepada dirinya. Inilah sunnatullah di jagad raya yang akan memisahkan barisan
hamba-hamba yang berbahagia dengan hamba-hamba yang binasa. Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang
mulia,
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh berbahagia
orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang justru
mengotorinya.” (QS. Asy Syams: 9-10)
Allah lah yang telah
menciptakan jiwa dengan segenap tabiat dan perangainya. Dan Allah pula yang
mengilhamkan kepadanya potensi untuk bertakwa dan potensi untuk berbuat dosa.
Maka barang siapa yang memilih ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta
menjunjung tinggi hal itu di atas segala-galanya maka sungguh dia telah
menyucikan jiwanya dan membersihkannya dari akhlak-akhlak yang rendah dan
tercela. Dan orang yang menyucikan jiwanya itu berarti akan merasakan
kebahagiaan hakiki di dunia dan di akhiratnya, semoga Allah memasukkan kita ke
dalam golongan ini. Sebaliknya, barang siapa yang justru memperturutkan kemauan
hawa nafsunya tanpa mematuhi rambu-rambu syariat yang ditetapkan oleh Allah
SWT, maka sesungguhnya dia telah mengotori jiwanya. Dan jelas sudah bagi kita
bahwa orang yang mengotori jiwanya akan merasakan kerugian dan kesempitan hidup
di dunia maupun akhiratnya.
Pembaca yang dirahmati
Allah, perjalanan hidup kita di dunia adalah singkat. Tidakkah kita ingat
belasan atau beberapa puluh tahun yang silam kita masih kanak-kanak. Ketika itu
kita masih belum mengenal makna syahadat dengan benar. Ketika itu kita masih
belum mengenal hakikat tauhid yang sesungguhnya. Yang kita mengerti saat itu
bahwa tauhid adalah mengakui bahwa Allah itu esa. Demikian pula kita belum
mengenal dakwah salaf dan para ulama yang telah menghabiskan umurnya,
mencurahkan pikiran dan tenaganya demi memperjuangkan dakwah yang mulia ini.
Kemudian setelah kita dewasa Allah berkenan mengaruniakan hidayah kepada kita
untuk belajar tauhid dan mengenal seluk beluknya. Dan Allah juga membukakan
kepada kita berbagai referensi ilmiah yang telah ditulis oleh para ulama dari masa
ke masa. Akankah kita sia-siakan hidayah ini dengan menenggelamkan diri dalam
kemaksiatan dan kerusakan akhlak? Akankah kita wujudkan rasa syukur ini dengan
melakukan perbuatan yang dimurkai oleh-Nya?
Pembaca Bulletin yang
berbahagia, semua manusia pasti pernah berbuat salah. Akan tetapi yang menjadi
persoalan sekarang adalah apakah kita sudah bertaubat dengan ikhlas dan
sungguh-sungguh dari setiap dosa dan kesalahan kita. Itulah pertanyaan besar
yang akan sangat sulit dijawab oleh orang yang sama sekali tidak mau
mempedulikan kondisi hatinya. Adapun orang yang mendapatkan taufik dari Allah
untuk berpikir dan merenungkan setiap aktivitas yang dia kerjakan, maka dia
akan bisa merasakan bahwa sesungguhnya menundukkan hawa nafsu dan mewujudkan
taubat yang sejati tidaklah seringan mengucapkannya dengan lisan. Terlebih lagi
pada masa seperti sekarang ini, ketika berbagai fitnah laksana gelombang lautan
yang datang menghempas silih berganti.
Oleh sebab itu, melalui
bulletin ini ada baiknya kita sedikit mengupas kiat agar seorang hamba bisa
memiliki jiwa yang tenang (nafsul muthma’innah),
bukan nafsu yang senantiasa menyesali diri (nafsul lawwamah) ataupun
nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan (nafsu ammarah bi suu’).
Pertama: Senantiasa
Berzikir/Mengingat Allah
Allah ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang
hatinya merasa tentram karena mengingat Allah. Ketahuilah bahwa dengan
mengingat Allah maka hati akan menjadi tentram.” (QS. Ar Ra’d: 28)
Seorang hamba akan
memiliki jiwa yang tenang tatkala ia selalu berusaha mengingat Allah, baik
dalam keadaan bersama orang ataupun sendiri, dalam posisi duduk, berdiri,
ataupun berbaring. Allah ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِهِمْ
“Orang-orang yang selalu
mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring.”(QS. Ali ‘Imran: 191)
Allah ta’ala memerintahkan pula agar kita selalu
berzikir kepada-Nya dan tidak lalai dari mengingat-Nya. Allah ta’ala berfirman,
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ
الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ وَلَا تَكُنْ مِنَ
الْغَافِلِينَ
“Dan ingatlah Rabbmu di
dalam hatimu dengan penuh perendahan diri, merasa takut, dan tanpa mengeraskan
suara di waktu pagi ataupun di waktu sore. Dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raaf : 205).
Dengan berzikir kepada
Allah maka hati akan hidup. Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan,
“Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lalu apakah yang akan terjadi pada
seekor ikan jika dipisahkan dari air?” (lihat Al Wabil Ash Shayyib).
Kedua: Merasa Takut Akan
Makar Allah
Seorang hamba yang
selalu mengingat Allah akankah ia terus menerus berbuat maksiat tanpa menyimpan
perasaan menyesal dan tekad kuat untuk tidak mengulangi kemaksiatannya? Akankah
dia merasa aman dari makar Allah? Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,
المؤمن يعمل بالطاعات وهو مُشْفِق وَجِل خائف، والفاجر يعمل بالمعاصي وهو آمن
“Orang mukmin
mengerjakan berbagai ketaatan dalam keadaan takut, hati yang bergetar, dan
penuh kekhawatiran. Adapun orang yang fajir (pendosa) melakukan berbagai
kemaksiatan dalam keadaan merasa aman.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir terhadap QS. Al A’raaf ayat 99)
Allah ta’ala berfirman,
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا
الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Apakah mereka merasa
aman dari makar Allah, tidak ada yang merasa aman dari makar Allah selain
orang-orang yang merugi.” (QS. Al A’raaf : 99).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
ditanya tentang dosa-dosa besar? Maka beliau menjawab, “Mempersekutukan Allah, berputus asa
dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar Allah.” (HR. Al Bazzar dalam Musnad [106],
dihasankan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ [4479]).
Syaikh Shalih bin Abdul
Aziz Alu Syaikh hafizahullah menjelaskan,
“Perasaan aman dari makar Allah itu berasal dari ketiadaan rasa takut dan
meninggalkan ibadah khauf. Ibadah khauf adalah ibadah hati. Rasa takut ini,
yaitu khauf ibadah, muncul karena pengagungan terhadap Allah jalla jalaluhu. Apabila
rasa takut ini telah bersemayam dalam hati seorang hamba, maka hamba itu akan
berusaha untuk melakukan hal-hal yang diridhai-Nya serta menjauhkan diri dari
melakukan hal-hal yang dilarang Allah. Dia akan mengagungkan Allah jalla wa ‘ala dengan melakukan hal-hal yang akan
mendekatkan diri kepada-Nya dalam bentuk rasa takut di dalam dirinya…” (Kifayatul Mustazid bi Syarhi Kitab At Tauhid, hal.
188).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau melihat Allah
memberikan kesenangan dunia kepada seorang hamba padahal dia sedang bergelimang
dengan kemaksiatan, sesungguhnya itulah sebenarnya istidraj.” (HR. Ahmad, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi
Hatim)
Isma’il bin Rafi’
mengatakan, “Termasuk merasa aman dari makar Allah adalah apabila seorang hamba
terus menerus melakukan perbuatan dosa dan dia berangan-angan untuk mendapatkan
ampunan dari Allah.” (lihat Fathul Majid, hal. 347).
Ketiga: Menghadirkan
Perasaan Selalu Diawasi Allah
Allah ta’ala berfirman,
الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ () وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
“Allah yang melihat
kalian ketika berdiri untuk sholat serta menyaksikan perubahan gerak badanmu di
antara orang-orang yang sujud.” (QS. Asy Syu’ara:
218-219)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Dia bersama kalian
di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4)
Allah ta’ala juga berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا
فِي السَّمَاءِ
“Sesungguhnya Allah,
tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya baik yang ada di bumi ataupun
yang ada di langit.” (QS. Ali ‘Imran: 5).
Allah ta’ala juga berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Sesungguhnya Rabbmu
benar-benar mengawasi.” (QS. Al Fajr: 14)
Allah ta’ala juga berfirman,
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Allah mengetahui
pandangan mata khianat serta apa yang tersembunyi di dalam dada.” (QS. Ghafir : 19).
Semoga Allah memasukkan
kita ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang memiliki nafsul muthma’innah. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin
wa ‘al aalihi wa shahibihi wa sallam, walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
(Bersambung)
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi