Ibnu Said dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Said bin al-Musayyab bahwa Shuhaib ar-Rumi, seorang mantan budak berkulit putih berdarah Ro...
Ibnu Said dan
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Said bin al-Musayyab bahwa Shuhaib ar-Rumi,
seorang mantan budak berkulit putih berdarah Romawi, mengikuti jejak Rasulullah
Shalallaahu ‘Alahi Wasallam berhijrah ke Madinah. Dalam perjalanannya,
sekelompok orang kafir Quraisy membuntutinya.
Menyadari ancaman
sedang mengintai, ia kemudian berhenti dan mengeluarkan panah dan semua
persenjataannya seraya berkata, “Kalian tahu wahai orang-orang Quraisy, aku
adalah pemanah terbaik. Kalian tidak akan dapat menyentuhku hingga aku
menggunakan semua panah yang kubawa, kemudian aku akan penggal kepala kalian
satu per satu dengan pedangku. Terserah kalian, apakah kalian akan menghalangi
perjalananku, atau jika kalian hanya menghendaki harta bendaku di Mekah, akan
aku tunjukkan. Tetapi dengan syarat, kalian membiarkan aku meneruskan
perjalananku!”
Orang-orang
Quraisy itu setuju, lalu Shuhaib menunjukkan tempat harta bendanya yang ada di
Mekah. Setelah itu, ia meneruskan perjalanan hijrahnya ke Madinah. Maka,
turunlah wahyu kepada Rasulullah, sementara Shuhaib masih dalam perjalanan dan
dia belum mendengarnya,
“Di antara
manusia ada yang rela menjual jiwanya demi untuk mencari ridha Allah, dan Allah
Maha Pengasih terhadap para hamba-Nya.” (al-Baqarah: 207)
Ketika melihat
Shuhaib tiba di Madinah, Rasulullah menyambutnya seraya bersabda, “Perniagaan
yang menguntungkan, wahai Abu Yahya (panggilan Shuhaib)! Perniagaan yang menguntungkan,
wahai Abu Yahya.” Lalu beliau membacakan ayat itu kepadanya.
Kecintaannya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, melebihi cintanya kepada harta
dan nyawanya sendiri. Shuhaib menjual semua itu untuk menggapai ridha Allah.
Bangunan cinta kepada
Allah dan Rasulullah diumpamakan Allah sebagai transaksi jual beli antara hamba
sebagai “penjual” dan Allah sebagai pihak yang dijadikan target pemasaran
(pembeli).
Sekarang kita
akan mencoba mengulas beberapa strategi pemasaran dalam praktik bisnis
konvensional. Contohnya Anda tentu kenal merek sepatu “Nike”. Kenapa sepatu
Nike begitu digandrungi oleh tidak hanya para olahragawan, tetapi semua orang,
mulai dari anak-anak sampai orang tua? Apakah karena kualitasnya yang memang
bagus? Atau karena modelnya yang selalu baru, inovatif, dan berganti-ganti?
Nike sukses bukan
karena kualitas sepatunya! Anda keliru kalau menganggap Nike hanya menjual
sepatu. Nike adalah identitas dan ekspresi diri!
Sama seperti
halnya sepeda motor “Harley Davidson”. Anda tentu keliru kalau Harley Davidson
menjual motor besar. Yang dijual adalah “kebebasan Amerika,” “Patriotisme”, dan
“kemachoan”.
Dua kasus itu
adalah praktik strategi pemasaran yang tidak terlalu fokus pada kualitas
produk, tetapi identitas. Anda juga tahu bagaimana gencarnya promosi dan iklan
berbagai macam produk di televisi dan media massa. Semua itu tujuannya untuk
memperkenalkan identitas dan menguatkan posisi merek dari produk itu di benak
konsumen.
Identitas tidak
hanya nama, alamat, tanggal lahir dan sebagainya. Jauh lebih penting dan lebih
menarik dari semua itu adalah kualitas dan karakter pribadi. Jika Anda
mempunyai seorang teman yang bernama Fulan bin Fulan misalnya, setelah Anda
mendengar namanya disebut oleh seseorang, apa yang akan muncul di benak Anda?
Yang akan tampil di benak Anda adalah karakter dan sifat-sifatnya.
Jika Anda pernah
dikecewakan atau disakiti oleh orangnya, maka ketika Anda mendengar namanya
disebut, Anda akan merasa benci, muak, cuek atau sinis. Lain halnya jika Anda
mengenalinya sebagai seorang yang baik hati, ramah, perhatian dan cerdas.
Karakter-karakter itu akan hadir dalam benak Anda setelah Anda mendengar
namanya dan mendorong Anda untuk ‘membeli” apa pun yang dia tawarkan kepada
Anda.
Tidak bisa
dimungkiri bahwa kesan Anda terhadap orang lain, baik penampilan fisik maupun
karakter dan kepribadiannva adalah hasil dari bagaimana dia “memasarkan
diri”nya kepada Anda.
Dalam konteks
hubungan dengan Allah, Tuhan yang menguasai alam semesta, kita sebagai
hamba-Nya adalah orang-orang yang “menjual diri” kepada-Nya. Di dalam
Al-Qur’an, Allah berfirman,
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (at Taubah: 111)
Dalam strategi
membangun merek (brand) ada istilah positioning, differentiating, dan branding.
Ketiganya merupakan langkah untuk menguatkan posisi merek dalam benak konsumen
sehingga kekuatan itu bisa meningkatkan daya tarik produk. Di antara cara
mereka untuk menguatkan posisi itu adalah dengan promosi, publikasi, iklan yang
terus-menerus di media cetak maupun elektronik.
Tidak berbeda
dengan strategi pemasaran konvensional, strategi “menjual diri” kepada Allah
pun sama. Ingatlah bagaimana jawaban Rasulullah terhadap Aisyah yang menanyakan
mengapa beliau rajin beribadah. Rasulullah menjawab, “Apa aku tidak bangga
seandainya Allah mengenaliku sebagai hamba yang tahu berterima kasih?”
Kualitas dan
karakter kita, bisa kita pilih melalui berbagai jenis amal saleh yang diajarkan
oleh Rasulullah. Ada orang yang Allah kenal sebagai hamba yang bersyukur. Ada
juga orang yang Allah kenal sebagai hamba yang rajin Qiyamul-lail. Ada orang
yang Allah kenal sebagai hamba yang rajin bersedekah, berjihad, berzikir,
berdoa, beristighfar, dan banyak lagi amal saleh yang bisa menjadi content
value (nilai jual) kita kepada Allah.
Maka, di antara
cara untuk menguatkan “merek” dan nilai jual amal saleh kita di hadapan Allah
adalah dengan melakukan amal saleh tersebut secara berulang-ulang dan
terus-menerus.
Ringkasnya,
target yang kita jadikan sebagai “pembeli” adalah Allah. Yang kita jual adalah
berbagai jenis amal saleh yang ringan dan mudah dikerjakan. Sementara harga
yang kita inginkan sebagai bayarannya adalah ridha Allah dan surga-Nya. Maka
aturlah strategi dan waktu Anda secara terus-menerus untuk memperkenalkan
“produk” amal saleh Anda kepada Allah, sehingga Dia mau “membeli” amal saleh
Anda dengan ridha dan surga-Nya.*/Hudzaifah Ismail, dari bukunya Sesegar Telaga
Kautsar.
Edisi : 435