Pembaca buletin Hidayah yang dirahmati oleh Allah SWT, gempita langit legam gemerlap oleh cahaya. Tepat pukul dua belas malam. Waktu yang...
Pembaca buletin Hidayah yang dirahmati oleh Allah SWT, gempita langit legam gemerlap oleh cahaya. Tepat pukul dua belas malam. Waktu yang dinantikan akhirnya tiba. Saat itulah Tahun Masehi berganti. Puncak acara dimulai.
Tahun baru masehi. Sedemikian lekat dengan ummat. Tapi tahukah kita apa makna
perayaan tahun baru masehi sesungguhnya? Sudah cukupkah pengetahuan kita akan
makna ‘hari istimewa’ itu sehingga kita merasa ‘pantas’ merayakannya sedemikian
gembira?
Padahal jauh-jauh hari Allah SWT sudah
memperingatkan kita dengan pola pembahasaan yang sedemikian lembut-menusuk, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya,” (QS Al Isro’ ;
36).
Sejarah Tahun Baru Masehi
Makna perayaan tahun baru masehi pada
1 Januari dapat kita lihat pada The World Book Encyclopedia tahun 1984, volume
14, halaman 237. “The Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New
Year’s Day in 46 BC. The Romans dedicated this day to Janus , the god of gates,
doors, and beginnings. The month of January was named after Janus, who
had two faces – one looking forward and the other looking backward.”
had two faces – one looking forward and the other looking backward.”
Pengertian dalam Ensiklopedia Dunia
tersebut jika diterjemahkan kurang lebih : “Penguasa Romawi Julius Caesar
menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 SM.
Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala
gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama
Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah – sebuah wajahnya menghadap
ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu.” (Sosok dewa Janus
dalam mitologi Romawi)
“Pengertian” tersebut di atas sudah
cukup menegaskan segenap kekeliriuan yang kerap kita tiru terkait perayaan
tahun baru masehi. Menganggap benar keberadaan ‘dewa’ saja sudah merupakan
suatu dosa, apalagi merayakannya?
Perayaan Tahun Baru Masehi di Beberapa
Negara Sekutu Islam
Mari kita bahas satu per satu untuk
mejernihkan pikiran yang mungkin terlalu terkontaminasi oleh kebiasaan
merayakan atau minimal mengistimewakan 1 Januari.
Pertama. Dewa Janus yang disebutkan
sebelumnya merupakan sesembahan kaum Pagan Romawi. Kaum Pagan adalah suatu kaum
yang dalam bahasa kita disebut kaum kafir penyembah berhala. Kaum Pagan hingga
kini biasa memasukkan budaya mereka ke dalam budaya kaum lainnya, sehingga
terkadang tanpa sadar kita mengikuti mereka. Kaum Pagan sendiri biasa merayakan
tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan
kembang api, dan bernyanyi bersama. Kaum Pagan di beberapa tempat di Eropa juga
menandainya dengan memukul lonceng atau meniup terompet.
Coba lihat persamaan ‘ritual’ yang saat
ini turut kita lakukan dan diwariskan turun-temurun kepada anak, keponakan,
cucu, dan generasi-generasi muda islam saat 1 Januari tiba. Perayaan tak
berdasar yang menjadi hal ‘biasa’ karena terlalu ‘terbiasa’.
Kedua. Menurut kepercayaan orang
Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve (Tahun
Baru) di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama
setahun penuh.
Ketiga. Dalam kepercayaan umat Nasrani
yang mayoritas menduduki belahan dunia bagian Barat, tahun baru Masehi
dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus. Itulah sebab agama Nasrani sering
juga disebut agama Masehi. Dalam kepercayaan Nasrani, masa sebelum lahirnya
Yesus Kristus dikenal sebagai masa Sebelum Masehi (SM) dan masa kelahiran Yesus
disebut sebagai tahun Masehi.
Keempat. Sedangkan bagi umat Majusi
(kaum kufur penyembah api) yang ada di Persia, tahun baru masehi diperingati
sebagai “Hari Raya Agama Mereka”. Mereka menyebut hari raya tersebut sebagai
Hari Nairuz/Narus. Nairuz memiliki arti tahun baru dan mereka meyakini pada
tahun baru tersebutlah Tuhan menciptakan cahaya sehingga mereka yang tak lain
adalah penyembah api teramat menilai mulia hari tersebut. Perayaan “Hari Raya” kaum majusi dilakukan dengan segenap kefasikan meliputi ritual meniup terompet, bersenang nan berfoya ria. Mereka berkumpul di pantai dan jalan-jalan, bercampur-baur lelaki dan perempuan, bergembira dengan menyanyi dan menari-nari serta berteriak-teriak sepanjang malam.
adalah penyembah api teramat menilai mulia hari tersebut. Perayaan “Hari Raya” kaum majusi dilakukan dengan segenap kefasikan meliputi ritual meniup terompet, bersenang nan berfoya ria. Mereka berkumpul di pantai dan jalan-jalan, bercampur-baur lelaki dan perempuan, bergembira dengan menyanyi dan menari-nari serta berteriak-teriak sepanjang malam.
Sekali lagi, cobalah dengan segenap
logika kita menarik “persamaan” ritual yang terjadi di lingkungan kita, di
sekeliling kita, di kampus kita, bahkan di negara kita. Tidakkah kita turut
melakukan ritual serupa?
Lantas “saudara-saudara seiman dan
se-Tuhan” kita akan mencela mentah-mentah segenap fakta yang kita ungkapkan
terkait kekeliruan yang terlanjur mendarah daging tersebut. Kalimat-kalimat
menolak standar : “Ah, tergantung niat kali!” atau malah yang lebih parah
“Merayakan tahun baru itu bukti syukur, karena kita mensyukuri waktu yang masih
diberikan Tuhan untuk kita, makanya kita merayakannya!”.
Mensyukuri dengan cara mengikuti
kebiasaan nan ritual penentang Allah pernahkah dibenarkan? Bahasa lainnya sama
saja Anda memasang pohon natal dan pergi ke gereja tapi ngotot mengakui itu
sebagai ibadah yang islami. Sama-sama ‘ritual’ kan? Bukankah pada point 3 di
atas dijelaskan dengan gamblang bahwa Tahun Baru Masehi adalah merupakan “Hari
Raya Agama Majusi” yang tak lain sama dengan agama-agama selain Islam yakni
kufar penyekutu Allah SWT?
Umat Islam dan Tahun Baru Masehi Hari
Ini
Beranjak ke daerah wisata termasyhur
Indonesia, Puncak Bogor. Pada Tahun Baru Masehi 2012, salah satu koran kenamaan
kota hujan yang dikenal dengan Harian RADAR Bogor edisi Selasa (4/12/12) memuat
artikel berjudul “Belanja Syahwat Kota Bogor Rp 74 M”. Angka yang fantastis
melonjak atas pembelian kondom menjelang malam perayaan tahun baru. Lebih
fantastis lagi karena angka milyaran tersebut didominasi oleh anak muda bahkan
pelajar usia sekolah.
Sejumlah data akurat membuktikan
peningkatan kasus seks bebas (dalam hal ini saya lebih suka menyebutnya sebagai
kasus ‘perzinahan’, karena ‘seks bebas’ sebenarnya adalah bahasa ‘koran’ yang
sengaja dibuat untuk ‘menghaluskan arti’ sedangkan bahasa agama kita
menyebutnya dengan istilah ‘zina/perzinahan’ yakni sesuai dengan pembahasaan
‘Al-Qur’an’) terjadi pada malam tahun baru.
Saat semua orang terlena pada perayaan
turun-temurun. Kondom dipandang menjadi solusi ‘zina’ dengan cara ‘sehat’.
Cukup kreatif jika kita kemudian mengusulkan pada label kondom ditambahkan
kalimat ‘zina sehat dengan dosa berkali lipat’. Yang mengaku lebih bisa menjaga
diri, sekalipun tidak atau belum terlibat pada perzinahan serupa, minimal turut
mendapatkan imbas dosa.
Kerugian pertama, karena merayakan
ritual kaum kafir. Kerugian kedua, sholat lima waktu terlalaikan. Kerugian
ketiga, keempat dan seterusnya, silakan amati, renungi, dan fahami oleh diri
anda sendiri. Lantas, saatnya berisghfar. Kawanku, tidakkah berusaha kita
indahkan peringatan kekasih Allah, Rasulullah Muhammad SAW berikut ini;
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi
sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti
itu masuk ke lubang dhob (ada yang menyebutnya lubang biawak), pasti kalian pun
akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, Apakah yang
diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?”
[HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al-Khudri.]
Juga sabdanya ; “Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” [HR. Ahmad dan
Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidha‘ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits
ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih
sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil no. 1269.]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini
terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini
diharamkan berdasarkan dalil Al-Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama
(ijma’). [Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha’ Ash Shiratil Mustaqim, 1/363,
Wazaratu Asy Syu-un Al-Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H.]
Sikap Kita
Bukankah perayaan tahun baru masehi
dengan segudang gempitanya telah menjadi ‘budaya’ yang menasional, bagaimana
menyikapinya?
Mengubah sistem memang tidak semudah
membalik telapak tangan. Mau tidak mau si empunya pengatur kalender nasional
memang terlanjur ‘memerahkan’ kalender pada 1 Januari. Sekolah-sekolah dan
instansi pemerintahan diliburkan, seakan memberi ruang untuk merayakan tahun
baru dengan segenap gegap fasiknya. Tapi bukan berarti kita turut pula
keterlanjuran menjerumuskan diri pada aktivitas perayaan yang dibahas
sebelumnya. Walahu’alam. [Ip]
Edisi : 431 Jabuari 2016